Tuesday, February 10, 2015

Banjir Jakarta Adalah Takdir


Jl. Ir. Juanda (Ravi/forum.detik.com)
Akhir Februari ini BMKG memprediksi akan terjadi puncak penghujan. Hal ini akan ditandai dengan intensitas hujan yang tinggi. Bila sudah demikian, maka Ibukota negara alias propinsi yang bersebelahan dengan propinsi saya dipastikan akan lumpuh, akibat meluapnya air dari got-got di depan rumah, kali, danau, dan waduk. 

Sebagian tidak terima dengan istilah banjir, mereka lebih suka dengan sebutan genangan yang tak terkendali. Bahkan sekarang ada istilah baru untuk banjir, yaitu pengalihan arus air dari yang sebelumnya di kali kini dialihkan ke daratan (ada-ada saja ya..hehehe). Apapun itu, Jakarta Kebanjiran sudah tidak aneh. Tak hanya di lagu Benjamin Suaib, sejarah juga telah mencatat, banjir di Jakarta memang membandel.

Konon sejak tahun 1621, londo-londo itu sudah merasakan banjir di tanah Betawi ini. Bahkan pada tahun 1922, Belanda sampai membuat Banjir Kanal Barat (BKB) untuk mengatasi banjir. Tapi hasilnya? sama saja guys. Sampai Indonesia merdeka, masuk Orba, berganti rezim reformasi, dari Gusdur, Mega, SBY, sampai Jokowi tetap aja banjir..njir..njirrr.


Kenapa sih banjir terus?

Ada beberapa hal yang membuat Ibukota jadi langganan banjir. Untuk lebih jelasnya, blogger sekalian langsung aja cek disini. dalam buku tersebut nampak permasalahan dan solusi yang dicanangkan oleh pemprov DKI. 

Pada intinya, kenapa Jakarta banjir terus, saya meringkasnya menjadi beberapa pokok: Jakarta memang lebih rendah daripada laut (tanah di Jakarta terus mengalami penurunan lho guys, salah satunya akibat penggunaan air tanah secara besar-besaran); perilaku miring masyarakat kita (buang sampah sembarangan, bantaran kali dijadikan rumah, got diratakan dan dijadikan tempat usaha); Jakarta gudangnya air (terbukti dilalui 13 sungai) dengan kata lain, Jakarta merupakan hilirnya air; swasta buas, pemerintah culas (daerah yang seharusnya berfungsi sebagai resapan justru dijadikan beton bertingkat menantang langit, daerah hijau diberangus demi keserakahan); jumlah penduduk yang terus bertambah (pertambahan penduduk membawa rentetan permasalahan lain, seperti lahan akan makin minim untuk tempat tinggal, sampah makin banyak, dsb)

Jadi bila tempo dulu disaat daerah resapan air masih banyak, penduduk masih sedikit, Jakarta sudah akrab dengan banjir. Apalagi sekarang ini, dimana permasalahan sudah semakin kompleks. Sudah saatnya stop mengeksploitasi Ibukota. Redam daya magnetik Jakarta dan bangun daerah baru. Dengan bergesernya perhatian masyarakat maka Jakarta bisa ditata kembali. Bukan untuk menghilangkan  banjir, tapi untuk meminimalisasinya.


Banjir Rabu, 5 Februari 2015 di Bundaran Patung Kuda (Arid&Pras/Antara)



No comments:

Post a Comment