Thursday, January 29, 2015

Mobilitas Kaum Urban

Bagi warga Jabodetabek, jalan raya sudah tak nyaman lagi untuk dilintasi. Pesatnya pertumbuhan mobil pribadi dan sepeda motor, ditambah tidak tertibnya para pengguna jalan membuat warga Jakarta dan sekitarnya harus merelakan separuh harinya di jalanan yang macet, dengan tubuh berkeringat, dan berbagai ancaman kecelakaan.

Berjuta orang mesti bangun lebih awal. Bahkan ketika adzan Subuh belum berkumandang, ribuan orang sudah bergegas menuju tempat kerjanya, termasuk mereka yang ingin ke kampus dan sekolah. Stres menjadi konsekuensi logis atas fenomena ini atau setidaknya lamanya di jalan akan membuat kita menjadi lebih cepat tua.

Fenomena ini urung terselesaikan. Ribuan mobil dan motor tiap bulannya berhasil dijual oleh Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM). Transportasi publik masih jauh dari kata nyaman. Angkot dan Bus Kota hanya akan membuat kita tak tepat waktu. 

Busway yang saat ini ada nyatanya tidak sukses. Selama busway tidak menggunakan jalur khusus (dengan separator) dan pengguna non-busway tidak ditertibkan terus menerus, maka proyek ini tidak akan bisa menarik minat masyarakat untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi.

Salah satu pilihan terbaik saat ini sejatinya adalah Kereta Commuterline. Kereta bisa menjadi transportasi unggulan di kemudian hari bila dikelola dengan baik. Saat ini jalur kereta masih terbatas dan jumlah keretanya pun masih sedikit. Kondisi ini diperparah dengan seringnya terjadi keterlambatan jadwal.


Sumber Gambar: okezone.com

Bayangkan bila dikemudian hari jalur kereta seperti Jalan Tol Lingkar Luar (JORR), dimana lintasannya saling terkait dan menghubungkan sudut wilayah yang satu dengan lainnya. Sehingga, warga Bogor yang ingin ke Serpong tak perlu ke tanah Abang terlebih dahulu, begitupula sebaliknya. Saya memimpikan jumlah kereta akan banyak dan jadwal diatur sebaik mungkin. Sehingga di jam-jam sibuk, kereta bisa mengangkut penumpang dengan maksimal, tidak seperti saat ini, di jam sibuk keberangkatan kereta malah jarang.

Sudah seharusnya pula, pemerintah fokus mengembangkan moda transportasi massal ini. Investasi jangka panjang diperlukan. Meski nilainya besar tapi manfaatnya akan luar biasa.

Saturday, January 24, 2015

Bibit Unggul dalam Falsafah Jawa

Teman-teman sekalian pasti tidak asing lagi dengan istilah bibit, bobot, bebet. Ketiga hal tersebut merupakan kriteria atau bisa dikatakan falsafah hidup orang Jawa dalam memilih pasangan hidup. Bibit, bobot, dan bebet menjadi pegangan bagi orang Jawa dalam memutuskan siapa kelak yang akan menjadi sigare nyowo ing geghayu bahteraning urip (belahan jiwa dalam mengarungi rumah tangga).

Pandangan ini berangkat dari kehati-hatian dalam menentukan pasangan hidup. Mengapa harus hati-hati, karena pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan pemilihan kriteria tersebut (umumnya) akan berdampak pula pada perjalanan hidup seseorang. Apalagi, dalam budaya Jawa, kegagalan membangun rumah tangga akan berdampak pada posisi sosial seseorang dalam masyarakat (image negatif).

Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan bibit, bobot, dan bebet?

Bibit terkait dengan keturunan atau asal muasal seseorang. Maksudnya sebelum menentukan siapa pasangan hidupnya dan siapa yang bakal dijadikan calon menantunya, masing-masing keluarga akan menelusuri atau mencari tahu seluk-beluk calon pasangan atau calon menantunya. Hal ini tidak hanya sekedar persoalan keturunan darah biru atau bukan, tapi lebih luas lagi. Misalnya, apakah orang tua si anak tukang kawin, penjudi, suka main perempuan, dan serangkaian perilaku negatif lainnya. Hal ini kemudian akan dibandingkan dengan perilaku positifnya di masyarakat. Hal itulah yang kemudian akan dijadikan pertimbangan.

Selanjutnya, bobot erat kaitannya dengan yang sifatnya lahiriah maupun batiniah. Bagaimana keimanan seseorang, pendidikannya, dan perilakunya. Hal ini dijadikan dasar, apakah pasangan hidup kita atau calon menantu akan mampu membahagiakan dan membawa pada kehidupan yang membawa kesejahteraan dan ketenteraman. Karena pada dasarnya tidak ada seorang pun yang ingin melihat hidupnya sendiri atau hidup anaknya menderita.

Yang terakhir adalah bebet, yakni segala hal yang terkait dengan perihal ekonomi dan kedudukan sosial. Hal ini jangan diartikan matre, tapi siapa yang tidak ingin hidup berkecukupan. Dalam pribahasa Jawa pun hal ini sering dikatakan dengan ungkapan jangan terlalu terobsesi dengan keinginan untuk memperoleh kedudukan, materi, dan kepuasaan duniawi. Meskipun begitu, apa salahnya bila hal tersebut bisa didapat. Oleh karena itu, bebet ditempatkan terakhir dalam kriteria tersebut. 

Dalam perkembangannya, apalagi di tengah pendidikan masyarakat yang semakin tinggi dan modernisasi yang tumbuh dengan pesat. Pandangan ini pun ditolak dan ditentang. Karena tidak ada satupun manusia yang mampu menjamin nasib seseorang akan seperti apa. Orang jahat tidak selamanya akan jahat dan orang miskin bukan berarti akan miskin selamanya, begitu pula sebaliknya.

Tapi percaya atau tidak, penolakan tersebut hanyalah dibibir saja. Atau agar saya tidak dikatakan naif, dari 100 orang yang menolak filosofi bibit, bobot, bebet paling hanya satu orang yang benar-benar mengesampingkan pandangan hidup tersebut.

Coba cek, apakah orang tua kalian sering menanyakan latarbelakang pacar kamu? tanyakan pada diri kalian apakah mau didekati oleh orang jelek, males, miskin, bertingkah, sombong, begajulan? Pasti kalian akan lebih nyaman bila didekati oleh orang yang cantik/ganteng, pintar, baik hati, dan meski tidak kaya tapi memiliki kerjaan yang tetap?

Patut kita ketahui juga bahwa ketiga hal tersebut merupakan bentuk dari kesempurnaan. Artinya, sulit sekali mendapatkan paket komplit tersebut. Meskipun begitu, setidaknya seseorang akan memasukkan salah satu dari ketiga kriteria tersebut ke dalam daftarnya.

Selanjutnya, untuk mengeksplorasi lebih jauh mengenai falsafah Jawa tersebut, kita harus "membuka" diri. Kita harus melihat sekitar kita dan coba mengamati dan menganalisa apakah benar bahwa 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya".

Namun, yang patut menjadi pelajaran adalah, hanya usaha keras kita yang mampu mengubah arah hidup. Jangan rendah diri bila kita hanyalah anak dari kuli bangunan, tukang becak, ataupun buruh pabrik. Yakinlah hal tersebut masih dapat kita perjuangkan untuk dirubah, meskipun effort yang mesti dilakukan harus 10x, bahkan 100x lebih dahsyat dibandingkan dengan effort seorang anak dosen, manager bank, pengusaha, Bupati, bahkan anak presiden.

Bila usaha yang dilakukan belum membuahkan hasil pada diri kita saat ini, yakinlah itu akan berdampak pada keturunan kita nantinya. 



Wednesday, January 7, 2015

Eksistensi Bemo

Sumber Gambar: jakartadailyphoto.com


Teman-teman masih ingat tidak dengan kendaraan roda tiga yang bagian depannya monyong? Katanya mirip almarhum Dono, maaf ya mas Don...hehehehe. Hari ini aku naik kendaraan legendaris tersebut dari Salemba menuju Stasiun Manggarai. Bagi kalian yang sering bepergian ke arah sana pasti sangat familiar deh. Karena akses untuk menuju stasiun paling mudah dan murah ya naik Bemo daripada harus memutar ke Cikini naik ojek.

Singkat cerita, aku mencegat (apa ya padanan kata yang pas untuk mencegat? pokoknya gitulah..hehe) Bemo di samping Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Beruntung, ternyata hanya tersisa satu kursi saja. Berhubung sudah mulai gerimis, aku langsung bergegas naik. Bagi teman-teman yang belum tahu tarif Bemo dari Salemba ke Manggarai berapa, tenag saja. Aku akan beberkan disini,..hehe. Tarif Bemo dari Salemba sekarang Rp.4000. Kuketahui itu dari angka Rp.4000 yang ada di langit-langit Bemo.

Sepanjang perjalanan, mataku bingung harus mengarahkan pandang kemana. Karena persis di depanku ada Bapak-Bapak yang sepertinya sudah tiga hari tidak mandi.....hehehe. Di Sebelahku juga tidak jauh beda, meski wangi tapi badanku tergencet karena ukuran tubuhnya yang super. Sedangkan sebelah kiri hanya ada sepeda motor, mobil, dan bajaj yang membuntuti di belakang Bemo.

Setelah kunikmati deru mesin Bemo, debu dan asap yang dikeluarkannya, aku sampai juga di Stasiun Manggarai dengan selamat.

Saat ini Jakarta sedang berbenah menjadi "the real" metropolitan, cirinya adalah menyingkirkan yang kumuh, usang, dan tidak modern. berbagai kebijakan telah dibuat dengan menggusur daerah-daerah pemukiman liar dan kumuh. Kemudian melarang sepeda motor di jalan protokol, menggencarkan transformasi massal. Selanjutnya, tentu kendaraan "purba" seperti Bemo dan bajaj tinggal menunggu nasib saja seperti becak yang telah lebih dulu "keluar" dari Jakarta.

Pembangunan atau modernisasi kadang memang tak mengenal belas kasihan. Ah sudahlah, setidaknya aku pernah merasakan serunya naik Bemo


Sunday, January 4, 2015

Cipadu VS Mayestik

Untuk kalian penggila kain atau siapa saja yang pernah menikah ataupun akan melangsungkan pernikahan pasti tidak asing dengan pusat kain seperti Tanah Abang, Mayestik, dan Cipadu. Tulisan ini akan membahas mengenai dua pusat kain. Satu di Jakarta yang diwakili oleh Mayestik dan satu lagi dari wilayah Kota Tangerang, yakni Cipadu.

Persamaan mendasar antara Mayestik dan Cipadu adalah penguasa kainnya sebagian besar keturunan India,,,hehehe (No SARA ya Guys). Entah kenapa, bisnis kain selalu identik dengan India dan lokalnya adalah pedagang dari tanah Minang. Mungkin ini sudah diwariskan sejak ratusan tahun silam. Di mana pedagang Gujarat merupakan salah satu pedagang yang intens masuk ke nusantara. Tapi bukan itu yang akan kita telisik.

CIPADU (Potensi yang diabaikan)

Sentra tekstil yang terletak di pinggiran Kota Tangerang dan dikelilingi oleh wilayah Tangerang Selatan dan Jakarta Barat ini sudah terkenal sejak era 1990-an. Bahkan banyak pedagang Pasar Tanah Abang yang hijrah ke wilayah tersebut. Namun, pemerintah setempat belum memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh Cipadu sebagai pusat tekstil.

Sumber Gambar: queenlicy.blogspot.com

Berkunjung ke wilayah Cipadu kita akan disuguhi pemandangan kios-kios tekstil yang berjejer sepanjang jalan masuk mulai dari Kreo (sebelah Giant) hingga tembus ke wilayah Ceger dan Ciledug. Sentra tekstil ini terlihat berantakan dan tak terawat. 

Lihat saja beberapa kios yang berjejer dengan tanah lapang yang berfungsi sebagai parkiran akan nampak becek ketika hujan dan berdebu ketika kemarau. Untuk berbelanja kita juga harus menyisir tiap-tiap kios yang ada di sepanjang jalan. Dipastikan selain kelelahan, wangi parfum anda akan berubah menjadi "bau matahari"..hehehe.

Tak ada penanda khusus yang memudahkan pengunjung untuk menuju Pasar Cipadu. Oleh karenanya, kalian mesti mengajak rekan atau kerabat yang pernah kesana, atau setidaknya membuka "google map" dan mengira-ngira sendiri lokasinya. Bila anda langsung menuju lokasi, dipastikan anda akan tersesat (aku salah satu korban soalnya,hehhe)

Harga kain di pasar ini memang lebih murah dibandingkan dengan Mayestik. tapi selisihnya hanya sekitar Rp.5000 saja. Salah satu kelemahan dari kain yang dijajakan di pasar Cipadu adalah tidak memiliki kualitas "the best" seperti yang ada di Mayestik. Misalnya saja kita hanya akan mendapatkan kain semi Perancis di Cipadu. Sedangkan untuk Perancis sungguhannya banyak kita temukan di Mayestik.

Belanja di Cipadu penuh kesunyian. Artinya pedagang pasif tidak agresif menawarkan daganganyya sebagaimana di Mayestik dan Tanah Abang. Sehingga kita tidak perlu risih dan bisa melihat-lihat sambil menanyakan barang yang kita cari kepada penjual. Pedagang di Cipadu tidak bertipe calo tiket yang akan mengejar-ngejar calon konsumennya hingga akhirnya meradang, hehehe.

Sejak dulu Cipadu memang tidak ditata. Cipadu tumbuh dengan sendirinya menjadi pusat tekstil di wilayah Kota Tangerang. Hingga kini, pihak Pemkot juga belum nampak geregetnya untuk merevitalisasi dan menata Cipadu. Padahal ini bisa dijadikan sentra tekstil baru dan terbesar di wilayah Tangerang. Padahal lokasi yang dekat dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta sangat menguntungkn agar para pelancong bisa langsung mengakses Cipadu.


MAYESTIK (Surga Kain Masyarakat Kota)

Pusat tekstil yang terletak di Jakarta Selatan ini memang sudah mendunia. Tak hanya warga lokal, turis asing pun ramai berbelanja di pasar yang konon sudah ada sejak tahun 1950-an ini. Di kompleks Mayestik, berdiri pasar yang dikelola oleh PD Pasar Jaya dan telah diremajakan oleh Pemprov DKI pada 2012 silam. Di sekitar pasar ini, banyak berdiri ruko atau kios-kios yang juga menjajakan beragam kain.

Tekstil di Mayestik mengelompok dalam satu kompleks pertokoan. Pengunjung tinggal pilih, mau berkeliling kios yang ada di luar pasar atau masuk ke dalam pasar. Di dalam pasar dipastikan nyaman karena berbentuk pasar modern dengan kios yang tertata dengan sentuhan AC yang membuat udara di dalam terasa sejuk. Pengunjung juga bisa memilih keperluannya dari mulai bahan kain hingga penjahit yang diinginkannya.

Sumber Gambar: id.wikipedia.org

Meskipun begitu, kios-kios yang ada di luar juga sangat nyaman. Banyak kios yang menyajikan berbagai pilihan bahan dari kelas bawah hingga atas. Jangan takut berkeringat, kios-kios disini juga sebagian besar dilengkapi AC, jadi kita bisa nyaman memilah-milah bahan.

Berbelanja di Mayestik sangat tergantung kemampuan keuangan kita. Sesuaikanlah dengan kantong suami kalian,hehehe. Sebab, pilihan harga dari paling murah hingga paling mahal ada disini.

Kelemahan Mayestik adalah sulitnya mendapatkan tempat parkir karena pasar ini sangat padat. Apalagi jika hari sudah siang, kendaraan anda dipastikan akan mengantri sejak pintu masuk dan pintu keluar. Jadi lebih baik kalian datang lebih awal. Kalau takut toko belum buka, kalian bisa menikmati jajanan ringan yang ada di depan kios.

Bila anda berbelanja di kios, bersiaplah ditawari keset dan celemek,hehehe. Para penjaja keset dan celemek sangat agresif di Mayestik. Ketika hendak masuk dan keluar kios saya pastikan kalian akan disambut oleh mereka.

Sekarang, blogger sekalian sudah lebih mengetahui mengenai seluk-beluk Cipadu dan Mayestik. Silahkan pilih sesuai preferensi kalian. Pastikan juga kalian bijak dalam belanja ya, jangan sampai "kalap" hehehe...

Semoga postingan ini membantu..Selamat Berbelanja...