Saturday, January 24, 2015

Bibit Unggul dalam Falsafah Jawa

Teman-teman sekalian pasti tidak asing lagi dengan istilah bibit, bobot, bebet. Ketiga hal tersebut merupakan kriteria atau bisa dikatakan falsafah hidup orang Jawa dalam memilih pasangan hidup. Bibit, bobot, dan bebet menjadi pegangan bagi orang Jawa dalam memutuskan siapa kelak yang akan menjadi sigare nyowo ing geghayu bahteraning urip (belahan jiwa dalam mengarungi rumah tangga).

Pandangan ini berangkat dari kehati-hatian dalam menentukan pasangan hidup. Mengapa harus hati-hati, karena pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan pemilihan kriteria tersebut (umumnya) akan berdampak pula pada perjalanan hidup seseorang. Apalagi, dalam budaya Jawa, kegagalan membangun rumah tangga akan berdampak pada posisi sosial seseorang dalam masyarakat (image negatif).

Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan bibit, bobot, dan bebet?

Bibit terkait dengan keturunan atau asal muasal seseorang. Maksudnya sebelum menentukan siapa pasangan hidupnya dan siapa yang bakal dijadikan calon menantunya, masing-masing keluarga akan menelusuri atau mencari tahu seluk-beluk calon pasangan atau calon menantunya. Hal ini tidak hanya sekedar persoalan keturunan darah biru atau bukan, tapi lebih luas lagi. Misalnya, apakah orang tua si anak tukang kawin, penjudi, suka main perempuan, dan serangkaian perilaku negatif lainnya. Hal ini kemudian akan dibandingkan dengan perilaku positifnya di masyarakat. Hal itulah yang kemudian akan dijadikan pertimbangan.

Selanjutnya, bobot erat kaitannya dengan yang sifatnya lahiriah maupun batiniah. Bagaimana keimanan seseorang, pendidikannya, dan perilakunya. Hal ini dijadikan dasar, apakah pasangan hidup kita atau calon menantu akan mampu membahagiakan dan membawa pada kehidupan yang membawa kesejahteraan dan ketenteraman. Karena pada dasarnya tidak ada seorang pun yang ingin melihat hidupnya sendiri atau hidup anaknya menderita.

Yang terakhir adalah bebet, yakni segala hal yang terkait dengan perihal ekonomi dan kedudukan sosial. Hal ini jangan diartikan matre, tapi siapa yang tidak ingin hidup berkecukupan. Dalam pribahasa Jawa pun hal ini sering dikatakan dengan ungkapan jangan terlalu terobsesi dengan keinginan untuk memperoleh kedudukan, materi, dan kepuasaan duniawi. Meskipun begitu, apa salahnya bila hal tersebut bisa didapat. Oleh karena itu, bebet ditempatkan terakhir dalam kriteria tersebut. 

Dalam perkembangannya, apalagi di tengah pendidikan masyarakat yang semakin tinggi dan modernisasi yang tumbuh dengan pesat. Pandangan ini pun ditolak dan ditentang. Karena tidak ada satupun manusia yang mampu menjamin nasib seseorang akan seperti apa. Orang jahat tidak selamanya akan jahat dan orang miskin bukan berarti akan miskin selamanya, begitu pula sebaliknya.

Tapi percaya atau tidak, penolakan tersebut hanyalah dibibir saja. Atau agar saya tidak dikatakan naif, dari 100 orang yang menolak filosofi bibit, bobot, bebet paling hanya satu orang yang benar-benar mengesampingkan pandangan hidup tersebut.

Coba cek, apakah orang tua kalian sering menanyakan latarbelakang pacar kamu? tanyakan pada diri kalian apakah mau didekati oleh orang jelek, males, miskin, bertingkah, sombong, begajulan? Pasti kalian akan lebih nyaman bila didekati oleh orang yang cantik/ganteng, pintar, baik hati, dan meski tidak kaya tapi memiliki kerjaan yang tetap?

Patut kita ketahui juga bahwa ketiga hal tersebut merupakan bentuk dari kesempurnaan. Artinya, sulit sekali mendapatkan paket komplit tersebut. Meskipun begitu, setidaknya seseorang akan memasukkan salah satu dari ketiga kriteria tersebut ke dalam daftarnya.

Selanjutnya, untuk mengeksplorasi lebih jauh mengenai falsafah Jawa tersebut, kita harus "membuka" diri. Kita harus melihat sekitar kita dan coba mengamati dan menganalisa apakah benar bahwa 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya".

Namun, yang patut menjadi pelajaran adalah, hanya usaha keras kita yang mampu mengubah arah hidup. Jangan rendah diri bila kita hanyalah anak dari kuli bangunan, tukang becak, ataupun buruh pabrik. Yakinlah hal tersebut masih dapat kita perjuangkan untuk dirubah, meskipun effort yang mesti dilakukan harus 10x, bahkan 100x lebih dahsyat dibandingkan dengan effort seorang anak dosen, manager bank, pengusaha, Bupati, bahkan anak presiden.

Bila usaha yang dilakukan belum membuahkan hasil pada diri kita saat ini, yakinlah itu akan berdampak pada keturunan kita nantinya. 



No comments:

Post a Comment